Prolog
Beberapa bulan lalu, tepatnya awal
bulan Januari 2017, Saya dan beberapa teman kuliah pergi mengunjungi suku
Baduy, Banten. Perjalanan ditempuh menggunakan kereta api lokal dari Stasiun
Serpong sampai Stasiun Rangkasbitung, lalu disambung dengan minibus sampai Desa
Ciboleger. Desa Ciboleger merupakan "pintu gerbang" menuju suku
Baduy.
Kami tiba di Desa Ciboleger sekitar
pukul 23.00, dan langsung disambut oleh Pak Sarpin dan kang Jahadi, yang
merupakan warga suku Baduy Luar. Setelah bertemu, kami langsung diantar menuju
tempat peristirahatan, yaitu kediaman Pak Sarpin. Di tengah perjalanan terdapat
gapura yang menyatakan bahwa kami sudah memasuki suku Baduy, yang ditandai pula
dengan tidak adanya rumah di kanan - kiri jalan setapak yang kami lalui. Yang
ada hanya semak dan pepohonan rimbun.
Pagi pertama di
Tanah Baduy
Pagi itu Saya dibangunkan oleh udara
dingin tanah Baduy. Alas yang terbuat dari rotan pada rumah panggung suku Baduy
ini memberi celah bagi udara luar untuk menyelinap masuk ke ruang tempat kami
beristirahat. Suara-suara berisik dari dapur membuat mata saya tak lagi bisa
dipejamkan. Ternyata istri Pak Sarpin sedang memasak nasi dan air panas untuk
membuat teh atau kopi untuk kami.
Agar memudahkan kami dalam mengisi
perut, jauh hari sebelum memulai perjalanan menuju Baduy, Pak Sarpin
menyarankan Lisa (ketua acara ini) untuk
membawa lauk-pauk kering yang tahan lama, seperti abon, orek tempe, kering
kentang, dll.
Saat menghidangkan nasi dan air
panas, mata Saya tertuju pada pakaian istri Pak Sarpin yang sangat menarik. Pakaian
warga Baduy Luar sangat khas. Untuk wanita, kain khas Baduy dililitkan di
pinggang, sehingga membentuk rok panjang, dengan atasan hitam. Untuk pria,
atasan dan bawahan berwarna hitam, lalu kain khas Baduy dipakai sebagai
penutup/ikat kepala. Sementara anak – anak Baduy Luar (baru lahir sampai usia
SD) tidak diwajibkan mengenakan pakaian khas Baduy.
Selfie, foto bersama, dan
merekam setiap sudut rumah, merupakan hal yang sangat menghibur, mengingat
tidak adanya sinyal provider atau
koneksi internet di sini. Namun karena penggunaan listrik yang sangat terbatas
(listrik hanya digunakan untuk menyalakan sebuah bohlam di tiap rumah pada suku Baduy Luar) kami pun mengurangi
penggunaan alat elektronik untuk menghemat daya gadget kami. Sembari menunggu giliran mandi, kami memutuskan untuk
duduk berbincang bersama sembari menunggu matahari terbit di teras depan
kediaman Pak Sarpin. Sungguh momen yang sangat langka bagi anak kota seperti
kami.
Ini
"Rumah" Kami
Setelah perut terisi penuh dan selesai
membersihkan diri, kami memulai perjalanan menuju suku Baduy Dalam. Untuk
diingat, suku Baduy berada di tengah hutan, dimana tidak ada jalan rata atau
beraspal, yang ada hanya tanah licin berbatu yang cukup tajam, ditambah
perjalanan menuju Baduy Dalam kurang lebih 25 km dengan medan yang
ekstrim. Tak lama kemudian dihadapan
kami muncul seorang pemuda tanggung dari Baduy Luar yang seumuran dengan kami,
datang dengan kaos oblong hitam, celana pendek, ikat kepala khas Baduy, tas
slempang dari akar pohon khas baduy, dan tanpa alas kaki. Ya, tanpa alas kaki.
Tak lain tak bukan, Ia adalah kang Jahadi. Karena rasa penasaran, Saya pun
bertanya :
"Kang, sering ke Baduy dalam
?"
"Sering."
"Emang gak sakit kang kakinya
nyeker ?"
"Udah biasa kok."
Saya cuma bisa menggelengkan kepala.
Kang Jahadi akan memandu kami sampai Baduy dalam. Sebab Pak Sarpin hendak pergi
meladang. Kami memulai perjalanan dengan
berpamitan kepada Pak Sarpin dan istrinya. Setelah melewati beberapa ratus
meter, kami bertemu dengan seorang warga suku Baduy Dalam. Sama seperti kami,
beliau sedang menempuh perjalanan menuju Baduy Dalam dari Baduy Luar (warga
Baduy Dalam pergi ke Baduy Luar untuk bertemu saudaranya atau ada keperluan
tertentu). Sama seperti kang Jahadi, beliau juga tidak menggunakan alas kaki.
Saya makin takjub, sebab Bapak ini sudah sangat tua, namun tidak merasakan
sakit. Sudah terbiasa, pikir Saya.
Suku Baduy Dalam sudah semakin
dekat, ditandai dengan adanya suara-suara aneh yang cukup asing di telinga
kami. Ternyata suara itu berasal dari batang pohon bambu yang digantung di
dahan pepohonan. Awalnya Saya pikir mereka membuat itu untuk menakuti
binatang-binatang buas agar tidak mendekati desa mereka, namun kang Jahadi
mengkoreksi kalau hal itu dilakukan hanya untuk kesenangan belaka. Kesenangan
yang cukup menyusahkan menurut Saya, karena pepohonan itu masih cukup jauh dari
desa, dan mereka menggantung batang-batang bambu tersebut di dahan yang paling
tinggi dari tiap pohon. Kesenangan yang unik.
Kami foto bersama penduduk asli Baduy dalam yang kebetulan bertemu dijalan
Selain suara dari bambu, tanda bahwa
desa Baduy Dalam sudah dekat ialah jembatan penyebrangan sungai, dimana
jembatan itu merupakan batas penggunaan alat elektronik. Alat elektronik boleh
dibawa menuju Baduy dalam, namun dilarang untuk digunakan. Setelah kurang lebih
lima jam kami menempuh jalan penuh batu, tanah licin, tanjakan dan turunan yang
curam, menerjang sungai, dan diterpa hujan deras, tibalah kami di suku Baduy Dalam.
Sungguh hal yang sangat melegakan saat melihat rumah suku Baduy Dalam dari
kejauhan.
Semua warga Baduy Dalam memakai
pakaian yang terbuat dari kain berwarna hitam dan putih yang dijahit sediri.
Tidak mengenal listrik, tidak mengenal teknologi. Seakan alam sudah memenuhi
semua kebutuhan mereka. Jalan berbatu pun tak lagi dirasa menyakitkan.
Anak-anak Baduy Dalam dengan lincah berlari dan melompat-lompat tanpa alas kaki
di atas jalan berbatu itu.
Sudah menjadi tradisi, warga Baduy Dalam
hidup meladang. Bahan makanan tak dikhawatirkan mereka. Air minum merupakan air
sungai yang dimasak di atas tungku kayu. Air untuk minum berasal dari sungai
yang juga digunakan untuk mandi, buang air, dan mencuci, hanya saja mereka
membagi daerah aliran untuk hal tersebut. Air minum terdapat di aliran yang
paling atas, sehingga tidak terkena air bekas mandi, buang air, ataupun
mencuci.
Sama sekali tidak merasa kesusahan,
kehidupan berjalan lancar dan sejahtera. Tanah licin dan jalan berbatu seakan
lantai buat mereka, ladang bagaikan super market, aliran sungai bagaikan kamar
mandi sekaligus sumber kehidupan, sebab dari situ mereka minum, membersihkan
diri, dan mencuci, dan bagi mereka, hiburan itu adalah ketika memasang batang
bambu di dahan pepohonan hanya untuk mendengar suara angin yang berhembus
melewatinya. Mereka punya semua itu. Seakan hutan itu adalah "rumah"
bagi mereka.
Categories:
Artikel