Kami di Mata Indonesia

Sore itu di kediaman Pak Narwan, Baduy Dalam, kami sedang duduk-duduk sembari beristirahat setelah melalui perjalanan panjang yang melelahkan. Seketika suara tipis adzan maghrib memecah kesunyian tanah Baduy Dalam yang sudah hampir gelap. Saya bertanya pada kang Jahadi :

"Di sini ada musholla kang ?"
"Itu suara musholla dari atas sana" sambil menunjuk ke satu arah.
"Oh. Warga sini Muslim atau masih menganut animisme gitu kang ?"
"Kalo disini namanya Sunda Wiwitan."

Adalah kepercayaan yang dianut warga suku Baduy Luar maupun Dalam, Sunda Wiwitan namanya. Sunda Wiwitan termasuk dalam animisme, yaitu kepercayaan kepada roh-roh leluhur. Kang Jahadi bercerita, dahulu pada KTP warga suku Baduy, bagian agama tertulis Sunda Wiwitan. Namun semenjak tahun 2010 (seingat saya) agama Sunda Wiwitan tidak diterima sebagai agama di Indonesia, dan semenjak saat itu keterangan agama pada KTP warga suku Baduy diberi tanda "-".

Sketch lingkungan Suku Baduy dalam oleh Dika 


Tinggal di daerah pedalaman, bukan berarti tidak memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Warga Baduy juga berhak memberi suara dalam proses demokrasi. Kang Jahadi juga bercerita bagaimana Ia dan warga suku Baduy mengikuti proses pemilu yang lalu. Suara mereka tetap diperhitungkan, dan tetap dibutuhkan. Sebab mereka juga merupakan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Suku Baduy merupakan salah satu warisan budaya Indonesia. Mereka merupakan harta budaya Indonesia. Mereka tetap menjaga kelestarian budaya dan adat mereka, tak peduli sejauh mana teknologi sudah merubah jaman.


Dika mengajak Sarnata, anak dari Suku Baduy dalam untuk bermain cat


Pengalaman tiga hari dua malam di suku Baduy benar-benar membuka mata saya akan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, juga keberagaman Indonesia. Saya berharap suku Baduy ini akan tetap lestari, tetap terjaga, dan tetap menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia. Mereka bukanlah sebuah objek hiburan belaka, mereka warga negara Indonesia,  dan mereka juga memiliki peran dalam perkembangan negara Indonesia dengan cara, pikiran, dan adat mereka sendiri.
Read More …

Categories:

Kami Tidak Primitif

Bahasa sehari-hari warga suku Baduy adalah bahasa sunda kasar. Sebenarnya hampir sama dengan bahasa sunda yang digunakan di Jawa Barat, hanya saja pilihan kata yang digunakan merupakan pilihan kata yang paling kasar dari sebuah kata. Sebagian warga Baduy bisa berbahasa Indonesia, namun masih terbata-bata. Hanya beberapa yang bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, contohnya Pak Sarpin, kang Jahadi, dan Pak Narwan, pemilik rumah yang kami tumpangi untuk bermalam di Baduy Dalam.
                                                                
Warga Baduy Luar maupun Baduy Dalam sangat ramah terhadap pendatang, termasuk keluarga Pak Narwan. Sesampainya di Baduy Dalam, kami disambut dengan ramah dan langsung dibuatkan air panas untuk membuat teh atau kopi dan dimasakkan nasi oleh istri Pak Narwan.

Semua lelaki Baduy Dalam berkerja meladang. Pulang meladang biasanya mereka bertemu dengan anak-istri, lalu para bapak berkumpul bersama di teras rumah seorang warga untuk berbincang bersama. Pada saat suami meladang, sang istri membersihkan rumah, mengurus anak, dan menenun.

Anak-anak Baduy Dalam dilarang mengikuti pendidikan di sekolah oleh orang tuanya, sebab memang begitulah adatnya. Berpendidikan formal memang dilarang di Baduy, namun bukan berarti mereka tidak boleh belajar. Anak-anak di Baduy boleh belajar dan membaca buku, tetapi hanya didalam rumah dan tidak boleh beramai-ramai. Karena hal tersebut masih dianggap tabu dalam masyarakat.

Kata "Luar" dan "Dalam" pada suku Baduy bukan sebatas menunjukan "letak". Merupakan sebuah pilihan hidup, untuk memilih hidup di Baduy Luar atau Baduy Dalam. Pilihan hidup itu harus dipikirkan matang-matang, tidak bisa berubah-ubah. Itu bagaikan identitas seorang warga suku Baduy. Seorang warga Baduy Luar dapat memutuskan menjadi warga Baduy Dalam dan mengikuti semua adatnya ketika dewasa, begitu pula sebaliknya pada seorang warga Baduy Dalam yang memutuskan untuk menjadi warga Baduy Luar. Namun kalau pergi hanya untuk berkunjung saja diperbolehkan dan bukan merupakan suatu masalah.

Akun Instagram Kang Jahadi

Menjadi seorang warga Baduy bukan berarti tidak bisa update. Hal ini dibuktikan kang Jahadi yang meminta kami untuk memfollow instagramnya (@jahadibaduy). Tak ada larangan bagi warga Baduy Luar untuk mengenal teknologi, hanya saja harus diminimalisir sejak memasuki daerah Baduy Luar (daerah Baduy Luar tidak mendapat sinyal provider atau pun koneksi internet, sekalipun tidak meminimalisir pemakaian gadget, belum tentu dapat mengakses internet.). Untuk itu, kang Jahadi harus turun ke desa Ciboleger demi mendapatkan koneksi internet dan sinyal provider.
Read More …

Categories:




Read More …

Categories:

Labels